Sekarang ini banyak film yang diadaptasi dari buku. Banyak film dengan jumlah penonton dengan angka fantasis karena diadaptasi dari novel yang memang best seller. Sebut saja Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, 5 cm, Koala Komal, Negeri Van Oranje, dan masih banyak lagi.
Pengadaptasian novel ke film biasanya dikarenakan novel tersebut sudah terkenal hingga masyarakat pada umumnya sudah tidak asing lagi terhadap cerita tersebut yang akhirnya mendukung aspek komersial. Selain itu ada juga yang menitikberatkan pada ide cerita yang dianggap bagus. Selain itu ada juga yang menitikberatkan pada ide cerita yang dianggap bagus. Sementara untuk penulis skenario, proses adaptasi cukup membantu dalam menggagas sebuah cerita yang akan disajikan ke dalam sebuah film. Dalam hal ini sastra dijadikan sumber dan bertitik tolak dari karya tersebut.
Menurut Dwight V. Swain dan Joye R. Swain yang dikutip Maroeli Simbolon, ada tiga cara utama untuk mengadaptasi karya sastra ke film, yaitu mengikuti buku, mengambil konflik-konflik penting, dan membuat cerita baru. Dari ketiga cara tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah yang sering dilakukan.
Menurut Krevolin, seorang penulis skenario Hollywood dan pakar dari UCLA, bahwa ketika seorang penulis skenario mengadaptasi sebuah novel, maka ia tak mempunyai hutang terhadap karya asli. Tugas seorang penulis skenario ketika mengadaptasi suatu karya ke dalam skenario film bukanklah mempertahankan sebanyak mungkin kemiripan dengan cerita asli, tapi membuat pilihan terbaik dari materi untuk menghasilkan skenario sebaik mungkin. Dengan demikian penulis skenario berhak mengambil keputusan lain berdasarkan interpretasinya.
Balada Si Roy versi bukunya belum membacanya, jadi belum bisa menyimpulkan apakah mengikuti buku, mengambil konflik-konflik penting, atau membuat cerita baru. Versi bukunya, Balada Si Roy merupakan serial bersambung Majalah HAI di era tahun 1980-an yang kemudian dibukukan.
Ada banyak selipan literasi yang aku temukan setelah menonton Film Balada Si Roy. Pertama, Membaca koran di beberapa scene. Teman Roy numpang baca koran di lapak baca. Tukang becak baca koran. Tukang bersih-bersih di sekolah pun juga baca koran.
Kedua, menulis kegelisahan hati di buku harian/ jurnal. Roy representasi pelajar kritis di masanya. Meski terkesan bandel di sekolah karena sering membolos, sebenarnya dia cukup kritis dengan keadaan sekolah maupun daerahnya. Biasanya ia tuliskan dalam buku hariannya.
Ketiga, terlihat beberapa kali scene yang menampilkan sosok Roy membaca buku-buku peninggalan sang ayah.
Keempat, mengetik naskah dengan mesin tik yang dikirimkan ke media massa. Di era 80-an, memiliki mesin tik merupakan barang tersier, atau termasuk barang mewah. Mesin tik yang digunakan Roy merupakan peninggalan milik mendiang ayahnya.
Kelima, membaca artikel koran yang ditempel di mading sekolah. Pada zamannya, karya tulisan kita dipajang di mading sekolah merupakan suatu kebanggaan. Begitu juga dengan apa yang dialami Roy dalam film ini.
Keenam, menulis artikel ke media massa sebagai bentuk perlawanan/ kritik sosial. Sebagai
bentuk perlawanannya, tidak hanya ia tulis dalam jurnal harian, tapi
juga Roy tulis dan kirim ke media massa agar bisa dibaca khalayak ramai
tentang kegelisahan hatinya.
Ketujuh, memotret kehidupan masyarakat sekitar. Selain menulis, Roy juga mengamati sekitar dengan memotret objek yang menurutnya menggelitik hati untuk dibahas.
Kedelapan, membaca buku untuk mengetahui trik bermain catur. Salah satu cara agar lolos mendekati Ani, Roy harus menempuh jalur sang ayah Ani yang jago catur. Dari semua kandidat, tidak ada satupun yang lolos berhasil mengalahkan ayah Ani. Roy teringat buku milik sang ayah tentang trik bagaimana bermain catur.
Kesembilan, mengingat kutipan seorang tokoh dari buku yang pernah dibaca. Ketika dihukum bapak kepala sekolah di lapangan karena membuat keributan di kantin, Roy yang dimarahi bapak kepala sekolah balik men-skak beliau dengan kata-kata yang dikutipnya dari hasil membaca sebuah buku. Dan ternyata Ani menyimaknya. Di lain hari, Ani mengoreksi kata-kata tersebut diucapkan oleh tokoh yang aslinya. Ini bisa menjadi bahan ajang PDKT anak SMA dengan bahas buku, hehehe...
Kesepuluh, beberapa scene di perpustakaan. Ya namanya juga film bertema anak SMA, pastinya ber-setting nggak jauh-jauh dari suasana sekolah, salah satunya ada di perpustakaan. Mulai dari Roy mencari sebuah buku untuk referensi tulisannya, Roy minta maaf kepada Wiwik yang membuatnya merasa sakit hati karena cinta bertepuk tangan, Roy mengejar Ani untuk memberikan penjelasan, dan masih ada lagi.
Ditulis oleh
Luckty Giyan Sukarno
Pustakawan SMA Negeri 2
Metro, Lampung
sedih banget pas aku mau nonton, ternyata udah turun layar :(
BalasHapus