Oleh: Akmal Faradise
Mahasiswa Manajemen Informasi dan Perpustaakan UGM
Pengantar |
Saya harus bilang bahwa tulisan ini dipicu oleh salah satu artikel di Bloomberg, yang mengatakan bahwa Clubhouse adalah ‘bintang baru’ di jagat media sosial. Mungkin artikel tersebut termasuk sebuah cara soft selling. Namun di luar hal tersebut, artikel dimaksud saya kira berhasil memantik rasa ingin tahu atas Clubhouse dan bagaimana potensi perkembangannya ke depan. Saya kemudian berdiskusi dengan seorang kawan pegiat voice-over (@miela_baisuni) mengenai platform ini dan semakin mantap untuk bergabung. Bagi saya, meski perubahan dalam lanskap bisnis media sosial itu niscaya, mengamati tiap media sosial berubah, berkembang, dan timbul-tenggelam adalah hal menarik.
Tulisan ini merupakan ulasan sekilas tentang aplikasi sebagai gambaran bagi teman-teman yang belum bisa mencicipi Clubhouse dan bacaan pengantar serta pemantik diskusi di lingkungan LIS mengenai Clubhouse ke depannya. Pengalaman pribadi saya mungkin mirip dengan beberapa ulasan yang beredar di media sosial atau situs, sebab bisa jadi memang begitulah UI yang ada dan UX yang ditawarkan. Sisanya berupa opini dan preferensi.
Saya pertama kali bergabung pada 20 Pebruari 2021, dinominasikan oleh teman saya @imammfi. Walau demikian, perlu sekitar seminggu bagi saya ‘bergerilya’ mencari orang yang bisa mengundang saya ke platform.
Bagian ini akan kita bagi menjadi
dua penilaian, dari sisi aplikasi dan pengalaman pribadi. Seperti UI x UX.
Aplikasinya punya tampilan cukup
bersih namun rasanya agak sedikit lemot. Beberapa kali kadang gagal melakukan
perintah tertentu, semacam kalau di browser kita melihat ‘page is
unresponsive’. Mungkin ini masalah server. Bisa dibilang Clubhouse sedang
berkembang untuk menjadi lebih baik, lebih besar. Jadi masalah seperti ini di
masa transisi bisa dibilang wajar.
Pernah Dapat Masalah |
Clubhouse belum bisa clear log activity (notifikasi kegiatan seperti siapa yang baru join, ada room apa yang baru dibuat dll). Sebenarnya hampir semua aplikasi media sosial memang demikian dan aktifitas yang lama akan hilang seiring waktu. Padahal Clubhouse bisa mengatur seberapa sering pop up notification muncul. Maka seandainya notifikasi aktifitas juga bisa diatur, rasanya menyenangkan. Ngarep. Jadi bisa dibilang, digital wellbeing Clubhouse lumayan baik dan masih bisa dikembangkan.
Room di Clubhouse hanya ditampilkan
judul dan siapa yang sedang berbicara, artinya kita perlu masuk room untuk tahu
apa yang sedang dibicarakan. Ini menarik karena tidak langsung terpapar konten.
Tidak seperti kita lihat feeds IG langsung terpapar foto/video, tidak seperti
kita browsing FYP Tiktok langsung terpapar video rekomendasi, tidak seperti
video yuotube yang tetap berjalan tanpa suara padahal belum kita klik dan tidak
sepert cuitan/status tertulis di FB dan Twitter yang langsung kita lihat dari
home. Sebenarnya ini prefensi, tapi UI yang demikian yang saya rasa relatif
berpihak pada pengguna.
Keluhan saya tentang Clubhouse lebih
ke hardware perangkat saya. Clubhouse memungkinkan kita mendengarkan percakapan
yang sangat lama, tentu berdampak pada jam penggunaan aplikasi yang makin
panjang. Nah berhubung hengpong saya iphone jadul, kondisi ini secara nyata
menguras baterai dengan cepat. Sad :(
Ada catatan penting yang perlu kita ketahui bersama bahwa Clubhouse belum mendukung monetisasi. Sementara ini, tanpa monetisasi, kreator, organisasi, atau siapapun yang ingin membuat room dan mencapat cuan, maka hal terkait pembayaran akan dilakukan terpisah di luar aplikasi Clubhouse. Kondisi tanpa monetisasi cukup problematis. Satu sisi kreator tidak bisa mendapat imbalan material dari apa yang dia sampaikan, sisi lain pengguna bisa mendapat banyak insight berharga. Jadi setidaknya kita perlu berterima kasih dan bersyukur kepada siapapun yang telah membuat room dengan insight ‘daging semua’, terima kasih untuk informasi berharga yang sudah dibagikan. Tentu juga terima kasih kepada pengembang Clubhouse karena memudahkan orang untuk bisa membuat diskusi lebih mudah terjadi. Cukup janjian secara personal, tidak harus selalu di bawah organisasi tertentu.
Mungkin hal tersebut yang
membedakan Clubhouse dengan Zoom. Clubhouse membuat room terjadi lebih mudah
dan relatif natural. Bahkan ini menjadi alternatif yang baik untuk menghindari
zoom fatigue. Cocok bagi mereka yang ngga mau harus sedikit berdandan demi sesi video
conference. Walau kita tahu Zoom memang punya kelebihan pada fitur penyajian yang lebih
kompleks dan interaktif, misal dengan adanya share screen.
Pengalaman saya selama menggunkan
Clubhouse relatif enak. Rasanya seperti kita mendengarkan podcast, tapi saya
bisa langsung memberikan komentar. Dan rasanya lebih nyata karena sama-sama
live dengan lawan bicara. Persis seperti menelepon.
Lalu, apa yang kira-kira bisa
Clubhouse kembangkan? Hm banyak sih. Kalau saya cenderung ke bagian Temu
Kembali Informasi yang lebih baik. Bisa saja room pada Clubhouse dapat direkam jadi saat
kita tidak sempat ikut room tertentu, kita bisa mendengarkan siaran tundanya. Sistemnya mungkin seperti IG live,
rekaman ada setelah room selesai. Mungkin perlu bekerja sama dengan penyedia
cloud drive. Bisa semacam transkirpsi juga. Walaupun hal ini saya rasa bakal
masuk sebagai fitur berbayar, tentu untuk menarik pemasukan bagi pengembang.
Sisanya yang mungkin terbayang untuk dimonetisasi pengembang adalah statistik
pengunjung profile, premium room, donasi dan log peserta room. Btw kamu bisa
cek postingan bang Ogut untuk insight lebih banyak.
PS.
Saya ingin menambahkan kegelisahan
mengenai perseteruan netizen pengguna Android vs iPhone.
Saya agak kurang sreg ketika iPhone terlalu dilihat sebagai ‘hp mahal’, walau memang Apple ingin membangun
image tersebut dan kesan eksklusif. Menurut saya lebih tepat iPhone dibilang hp future-proof. Saya
menggunakan iPhone SE keluaran 2016 dan masih enak digunakan sampai sekarang
(kecuali battery issue yang emang jadi masalah klasik iPhone). Itupun saya beli sekenan
pada 2019. iPhone jadi future-proof karena didukung oleh iOS yang banyak
menjangkau seri lama. Android? Sulit. Pixel series aja cuma 3 tahun dukungan.
Nah mengenai mahal, hp Android sik larang yo akeh bos!
Selanjutnya mengenai pengembangan
Clubhouse. Saya ngga tahu kenapa developer rilis di iOS dulu baru Android. Yah saya
rasa ini wajar karena masih sedikit tim dan skalabilitasnya belum besar
untuk menuju pengembangan di Android. Ingat, dulu WA dan IG juga awalnya di iOS
kok. Jadi sabar, bertahap. Cek ombaknya di iOS dulu, karena pasarnya lebih
sedikit. Hai kalian kasta Android, berbanggalah kalian mayoritas di muka bumi
ini.
Walau yah beda lagi emang kalau
bicara persaingan bisnis antar SNS. Kalau Clubhouse tidak segera meluncurkan
versi Android, pasar mereka bisa direbut Twitter yang menyediakan layanan serupa –Space.
Btw kalau kamu mau coba Clubhouse versi mod Android juga ada, cuma risiko tanggung sendiri.
Pengalaman Ikut Room
Saya sudah mengikuti beberapa room
di Clubhouse. Ada yang memberikan informasi insightful, ada juga yang isinya
tidak jelas. Room dari publik figur tetap bisa membuat orang penasaran meski
isinya kadang tidak mengenyangkan. Bahkan terkadang seperti mendengarkan orang
... ghibah. Karena bagaimanapun, seadainya dianalogikan, room di Clubhouse bisa
diibaratkan sedang melakukan panggilan (baik personal atau grup), cuma orang di
luar percakapan dapat menyimak bahkan berkomentar. Maka bahasannya tentu seperti
percakapan kita dengan kawan; bisa sangat menarik dan berbobot, bisa juga cuma gurawan
receh atau bahasan mengambang.
Kemudahan membuat room seperti di
atas, tentu memudahkan mereka yang sudah ‘punya nama’ untuk mendapat lebih
banyak pendengar. Walau sebenarnya kita yang biasa aja ini punya kesempatan
juga jadi ‘semacam influecer’ di Clubhouse. Ada caranya.
Perasaan yang timbul saat ikut
sebuah room sama persis ketika saya ikut seminar, atau webinar. Meski cuma
audio, tapi tetep aja deg-degan kalau mau tanya. Haha. Pernah gitu out of
knowhere saya tanya tentang sosial media berbasis blockchain di sebuah
room bersama mas Ismail Fahmi dan Prof Joel Picard.
Saya juga pernah ikut room mas
Ainun menyilakan mas Ismail Fahmi untuk menceritakan pengalaman menggunakan
Clubhouse, dan bagaimana Drone Emprit Academic menangkap percakapan tentang Clubhouse. Saya jadi tahu bahwa Clubhouse sempat dijadikan medium pergerakan
sosial di Thailand. Bahkan karena room ini saya juga jadi tahu idol kpop ada yang join Clubhouse xixixi.
Insight menarik yang saya dapat
dari room tersebut adalah banyak nakes atau tepatnya dokter yang join Clubhouse
untuk memerangi misinformasi isu-isu kesehatan. Membuat sebuah room di
Clubhouse itu mudah dan siapa saja bisa bicara apa saja. Jadi para nakes-dokter perlu
ikut bersuara dalam mengurangi misinformasi. Nah, ini semacam catatan penting. Semakin
banyak ahli yang bergabung di Clubhouse, misinformasi atau disinformasi dalam
room bisa lebih cepat ditangani karena banyak ahli yang bisa dirujuk langsung,
bisa berkomentar langsung tentang suatu tema. Bahkan bagi pemerintah, menurut
pak Sandiaga Uno dalam suatu room, Clubhouse bisa menjadi medium transparansi kebijakan
pemerintah dan memungkinkan masyarakat memberikan aspirasi langsung. Hail daebak.
“Lalu, kira-kira bagaimana Clubhouse ke depannya?” tanya mas Firdza pada mas Fahmi di suatu room. “Bisa berkembang. Ada
orang yang punya intensi ingin menyuarakan kritik. Lagipula, Clubhouse memfasilitasi
mereka yang punya preferensi ‘ingin berbicara saja atau mendengarkan’. Clubhouse
mengisi ruang kosong sosial media berbasis audio” jawab mas Fahmi, aw kama
qala. Walaupun saya pribadi berpikir bahwa anak generasi baru sepertinya lebih
tertarik konten/interaksi visual base, dan pada aplikasi video pendek seperti Tiktok.
Room yang Asik |
Fun fact.
Tepuk tangan di Clubhouse dilakukan
dengan menekan tombol suara berulang kali (mute-unmute, mute-unmute). Pertama kali
tahu dari kak Gabriela. Katanya di room internasional begitulah keadaanya. Ngakak
lama tidak kelar-kelar.
Tren Bergulir. Bagaimana Kita merespon?
Saya pribadi melihat Clubhouse
punya potensi untuk berkembang. Cerita mereka membangun platform relatif mirip raksasa
media sosial (atau tepatnya periklanan) hari ini, Facebook –mulai dari
lingkaran terdekat, orang terbatas, dapat eksposur kemudian naik dan
menyetabilkan pengaruh. Itupun kalau mereka ngga keduluan kalah pengaruh dengan
Space-nya Twitter haha. Bagaimanapun, Clubhouse harus segera merilis versi
Android. Karena tidak bisa dielakkan pangsa pasar smartphone tetap tetap
dipegang pengguna Android. Clubhouse kemarin bisa hype karena menggunakan konsep
scarcity seperti pada cryptocurrency; hanya bisa di iOS, hanya bisa join kalau
diinvite. Tentu strategi ini tidak bisa terus bertahan atau diulang.
Bagi yang sudah tergabung di
Clubhouse, saran saya satu: hati-hati. Hati-hati dalam berbicara. Karena kita
tidak tahu apakah ternyata diam-diam ada yang merekam. Hat-hati dalam
membicarakan orang/institusi. Karena kita tidak tahu di mana celah kebocoran
informasi. Hati-hati dalam membicarakan sesuatu. Sitatlah hal yang perlu
disitat, tidak perlu sok ngaku-ngaku insight yang bukan dari kamu. Jadilah bertanggung
jawab dengan apapun yang kamu sampaikan.
Well, kalau begitu Clubhouse berbahaya?
Ada potensi bahayanya seperti yang diulas mas Ario Pratomo. Tapi ada potensi
cuannya juga. Kamu bisa cek konten mas Ogut. Oh ya, ada triknya juga kok buat
kamu yang ingin punya eksposure di Clubhouse. Sering-sering ikut dan bikin
room, sering-seringlah berinteraksi di sana. Kualitas saat berbicara dapat
menarik orang untuk mengikuti kamu. Lengkapnya bisa dibaca di sini.
Haruskah LIS meramaikan?
Baiklah. Akhirnya kita sampai pada
penghujung tulisan dan maksud dasar dari tulisan ini dibuat. Sebagaimana terteta
pada judul, haruskah?
Sebenarnya pertanyaan tersebut
tidak bisa serta-merta dijawab diametral YA atau TIDAK. Tapi saya pribadi akan
cenderung untuk mengadvokasi sembari juga menanyakan preferensi.
Apakah kamu termasuk orang yang
lebih suka ngobrol atau mendengarkan? Apakah kamu suka mendengerkan podcast? Apakah
kemasan konten audio lebih kamu suka dari teks, foto dan video? Kalau jawaban
pertanyaan disebut dominan YA, kamu punya kecenderungan untuk menikmati
Clubhouse.
Meski sebelumnya Clubhuouse naik
gara-gara sentimen dan pemberitaan, saya rasa tidak masalah bila LIS dan
pustakawan (jika memungkinkan) untuk join the trend. Bukan karena FOMO tapi
lebih pada positioning bahwa pustakawan juga bisa keep up dalam dinamika media
sosial.
Per tulisan ini dibuat, pustakawan
(baik dari Indonesia atau luar negeri) yang join Clubhouse masih sedikit. Saya sempat mencari
dengan kata kunci ‘perpustakaan’, ‘library’, ‘pustakawan’, ‘librarian’. Room
berbau literasi dengan kata kunci ‘book’, ‘buku’, belum banyak. Asumsi saya
memang tema literasi dan juga teman-teman LIS serta pustakawan belum banyak
yang bermain di Clubhouse. Belum seramai topik atau tokoh bidang kesehatan,
creative industry, financial, dll. Apakah juga ternyata teman-teman pustakawan dan pegiat
literasi banyak yang ... pakai Android? No offense, please. Xixixi
Bagi saya, peluang naiknya citra
pustakawan bisa digarap juga di platform ini. Seperti di singgung pada bagian
sebelumnya, banyak ahli bidang tertentu yang join di Clubhouse. Harusnya pustakawan
juga bisa hadir sebagai orang yang punya citra profesional pada bidang informasi,
expertise-nya bisa kelihatan dengan banyak berinterakasi lewat room. Kita bisa
menunjukkan dengan bangga "kita pustakawan" di profile dan bisa menunjukkan
kualitas penguasaan kita dalam pengelolaan informasi, literatur, buku,
penerbitan dll. Kita bisa mendapat ruang untuk menunjukkan kualitas public
speaking. Seperti yang saya lakukan; membubuhkan profil sebagai mahasiswa
LIS, ikut berinterasi dalam room dan ikut bersuara tentang informasi, buku,
penerbitan dll.
Apa yang saya dapat dengan ikut
Clubhouse dengan membawa identitas anak LIS? Banyak insight baru, banyak
relasi.
Cheers!
0 komentar:
Posting Komentar