Selasa, 23 Maret 2021

Jika Clubhouse Tersedia untuk Publik Luas, Haruskah Perpustakaan/Pustakawan ikut meramaikan? Sebuah Pengantar

Oleh: Akmal Faradise

Mahasiswa Manajemen Informasi dan Perpustaakan UGM

Pengantar

Saya harus bilang bahwa tulisan ini dipicu oleh salah satu artikel di Bloomberg, yang mengatakan bahwa Clubhouse adalah ‘bintang baru’ di jagat media sosial. Mungkin artikel tersebut termasuk sebuah cara soft selling. Namun di luar hal tersebut, artikel dimaksud saya kira berhasil memantik rasa ingin tahu atas Clubhouse dan bagaimana potensi perkembangannya ke depan. Saya kemudian berdiskusi dengan seorang kawan pegiat voice-over (@miela_baisuni) mengenai platform ini dan semakin mantap untuk bergabung. Bagi saya, meski perubahan dalam lanskap bisnis media sosial itu niscaya, mengamati tiap media sosial berubah, berkembang, dan timbul-tenggelam adalah hal menarik. 

Tulisan ini merupakan ulasan sekilas tentang aplikasi sebagai gambaran bagi teman-teman yang belum bisa mencicipi Clubhouse dan bacaan pengantar serta pemantik diskusi di lingkungan LIS mengenai Clubhouse ke depannya. Pengalaman pribadi saya mungkin mirip dengan beberapa ulasan yang beredar di media sosial atau situs, sebab bisa jadi memang begitulah UI yang ada dan UX yang ditawarkan. Sisanya berupa opini dan preferensi. 

Saya pertama kali bergabung pada 20 Pebruari 2021, dinominasikan oleh teman saya @imammfi. Walau demikian, perlu sekitar seminggu bagi saya ‘bergerilya’ mencari orang yang bisa mengundang saya ke platform

Apa sih Clubhouse itu?

Clubhouse merupakan aplikasi media sosial berbasis audio besutan Alpha Exploration. Aplikasi ini dibuat oleh Rohan Seth dan Paul Davison. Pengguna dapat berinteraksi lewat suara dalam ‘room’. Room merupakan ruang interakasi (seperti WAG keluarga) yang membolehkan pengguna berkirim pesan suara. Jika room hanya berisi dua orang, rasanya akan seperti teleponan. Namun jika memuat lebih banyak orang, rasanya seperti mendengarkan seminar tapi lewat hp dan bisa disambi rebahan. Batas peserta sebuah room sependek yang bisa saya tahu adalah 8 ribu orang, wow. Dalam room berkapasitas besar tersebut, orang bisa saling mengobrol dan berdiskusi. Terdapat fitur yang dapat memosisikan pengguna sebagai moderator –mengatur diskusi dengan memperbolehkan atau menunda pengguna lain (peserta) untuk berbicara. Ada tombol ‘mengangkat tangan’ yang memperbolehkan kita ikut nimbrung dalam diskusi. Persis seperti di kelas gitu. 

Pertama kali instal saya agak terganggu karena permission yang diminta cukup banyak (email, no hp, akun medsos, audio, kontak) walau ini bisa dipahami agar aplikasi berfungsi dengan baik. UInya relatif bersih, tidak terlalu ramai dengan pemilihan font yang menurut saya lucu. Ada lima tab yang tersedia.

Pertama adalah tab home. Room yang sedang berlangsung ditampilkan di sini. Biasanya muncul karena orang yang kita follow tengah join di room tersebut. Jika ingin bergabung, tinggal klik saja maka otomatis masuk. Rasanya sih seperti mendengarkan pertunjukan langsung, realtime. Di bagian home tersedia tab search. Ini memungkinkan untuk mencari pengguna atau club (semacam grup) berdasar kata kunci tertentu. Kamu juga bisa mencari berdasar topik/interest. Ada beberapa nama pengguna yang biasanya menjadi rekomendasi untuk diikuti. 

Kedua adalah tab invitasi. Secara default kita mendapat dua jatah mengundang orang. Di tab ini akan muncul daftar nama dari kontak kita yang mungkin mau kita undang. Terdapat keterangan kontak tersebut memiliki beberapa teman di Clubhouse. Jadi kita perlu sedikit melakukan kurasi dalam mengundang siapa yang kira-kira tertarik dengan platform atau kiranya bisa aktif di platform. Jatah invitasi ini bisa bertambah sih, saya dapat beberapa (sekarang ada 6). Oh ya, karena ini berbasis kontak yang kita simpan, dapat dipastikan pengguna adalah orang nyata karena berdasar orang yang kita kenal. Jadi, ngga butuh ‘centang biru’ sih haha.

Ketiga, tab kegiatan. Kamu bisa melihat event room yang akan datang beberapa waktu ke depan dan bisa membuat jadual event kamu sendiri. Keempat tab notifikasi dan kelima tab profile. Di bagian profile kamu bisa menulis bio yang relatif panjang, macam resume CV gitu ahaha dan diperlihatkan siapa yang menominasikan/mengundang kamu ke Clubhouse. Kalau bahasa mas Ainun Najib sih, ‘ikut Clubhouse itu ada sanadnya’.

Tampilan Clubhouse
 
Tulisan ini selesai setelah sekitar satu bulan saya menggunakan Clubhouse. Menurut saya kadang aplikasi masih agak lemot, sesekali. Namun kualitas suara tergolong sangat bagus. Oh ya berbicara mengenai suara, aplikasi ini audio only jadi kemampuan public speaking, storytelling dll sangat penting dimiliki. Males kan dengerin orang yang ngomongnya belibet atau cara bertuturnya berantakan. Mana ngga bisa dipause atau skip kaya podcast wkwk. Ya mau ngga mau emang pilihannya left dari room. Masalah muncul jika itu room bersama; kamu suka denger pembicara A tapi tidak B. 

Sementara, aplikasi ini tidak punya iklan. Tapi belum tahu nanti misal dikembangkan dan memiliki banyak fitur baru, biasanya ada saja celah untuk mengombinasikan fitur dengan iklan. Ya wajar, media sosial kan juga bisnis. Cuma, saya hanya berharap bagaimanapun pengembangannya ke depan, semoga pendirinya tidak kehilangan visi dasarnya. Jadi meski Clubhouse nanti jadi besar, tetap menarik seperti awal muncul –platform diskusi berkualitas.

Penting diketahui, meski kalian sangat suka obrolan di suatu room, kalian belum bisa menikmatinya kembali artinya ketika percakapan selesai, tidak ada jejaknya. Clubhouse belum menyediakan fitur rekam percakapan, atau semacam transkripsi dari percakapan. Mau tidak mau kita bisa mengakalinya dengan live tweet (menulis poin obrolan per moment) atau membuat resume/notulensinya via microblog Instagram, misalnya. 

Kekurangan dan Kelebihan. Enak enggak si?

Bagian ini akan kita bagi menjadi dua penilaian, dari sisi aplikasi dan pengalaman pribadi. Seperti UI x UX.

Aplikasinya punya tampilan cukup bersih namun rasanya agak sedikit lemot. Beberapa kali kadang gagal melakukan perintah tertentu, semacam kalau di browser kita melihat ‘page is unresponsive’. Mungkin ini masalah server. Bisa dibilang Clubhouse sedang berkembang untuk menjadi lebih baik, lebih besar. Jadi masalah seperti ini di masa transisi bisa dibilang wajar.

Pernah Dapat Masalah

Clubhouse belum bisa clear log activity (notifikasi kegiatan seperti siapa yang baru join, ada room apa yang baru dibuat dll). Sebenarnya hampir semua aplikasi media sosial memang demikian dan aktifitas yang lama akan hilang seiring waktu. Padahal Clubhouse bisa mengatur seberapa sering pop up notification muncul. Maka seandainya notifikasi aktifitas juga bisa diatur, rasanya menyenangkan. Ngarep. Jadi bisa dibilang, digital wellbeing Clubhouse lumayan baik dan masih bisa dikembangkan.

Room di Clubhouse hanya ditampilkan judul dan siapa yang sedang berbicara, artinya kita perlu masuk room untuk tahu apa yang sedang dibicarakan. Ini menarik karena tidak langsung terpapar konten. Tidak seperti kita lihat feeds IG langsung terpapar foto/video, tidak seperti kita browsing FYP Tiktok langsung terpapar video rekomendasi, tidak seperti video yuotube yang tetap berjalan tanpa suara padahal belum kita klik dan tidak sepert cuitan/status tertulis di FB dan Twitter yang langsung kita lihat dari home. Sebenarnya ini prefensi, tapi UI yang demikian yang saya rasa relatif berpihak pada pengguna.

Keluhan saya tentang Clubhouse lebih ke hardware perangkat saya. Clubhouse memungkinkan kita mendengarkan percakapan yang sangat lama, tentu berdampak pada jam penggunaan aplikasi yang makin panjang. Nah berhubung hengpong saya iphone jadul, kondisi ini secara nyata menguras baterai dengan cepat. Sad :(

Ada catatan penting yang perlu kita ketahui bersama bahwa Clubhouse belum mendukung monetisasi. Sementara ini, tanpa monetisasi, kreator, organisasi, atau siapapun yang ingin membuat room dan mencapat cuan, maka hal terkait pembayaran akan dilakukan terpisah di luar aplikasi Clubhouse. Kondisi tanpa monetisasi cukup problematis. Satu sisi kreator tidak bisa mendapat imbalan material dari apa yang dia sampaikan, sisi lain pengguna bisa mendapat banyak insight berharga. Jadi setidaknya kita perlu berterima kasih dan bersyukur kepada siapapun yang telah membuat room dengan insight ‘daging semua’, terima kasih untuk informasi berharga yang sudah dibagikan. Tentu juga terima kasih kepada pengembang Clubhouse karena memudahkan orang untuk bisa membuat diskusi lebih mudah terjadi. Cukup janjian secara personal, tidak harus selalu di bawah organisasi tertentu.

Mungkin hal tersebut yang membedakan Clubhouse dengan Zoom. Clubhouse membuat room terjadi lebih mudah dan relatif natural. Bahkan ini menjadi alternatif yang baik untuk menghindari zoom fatigue. Cocok bagi mereka yang ngga mau harus sedikit berdandan demi sesi video conference. Walau kita tahu Zoom memang punya kelebihan pada fitur penyajian yang lebih kompleks dan interaktif, misal dengan adanya share screen.

Pengalaman saya selama menggunkan Clubhouse relatif enak. Rasanya seperti kita mendengarkan podcast, tapi saya bisa langsung memberikan komentar. Dan rasanya lebih nyata karena sama-sama live dengan lawan bicara. Persis seperti menelepon.

Lalu, apa yang kira-kira bisa Clubhouse kembangkan? Hm banyak sih. Kalau saya cenderung ke bagian Temu Kembali Informasi yang lebih baik. Bisa saja room pada Clubhouse dapat direkam jadi saat kita tidak sempat ikut room tertentu, kita bisa mendengarkan siaran tundanya. Sistemnya mungkin seperti IG live, rekaman ada setelah room selesai. Mungkin perlu bekerja sama dengan penyedia cloud drive. Bisa semacam transkirpsi juga. Walaupun hal ini saya rasa bakal masuk sebagai fitur berbayar, tentu untuk menarik pemasukan bagi pengembang. Sisanya yang mungkin terbayang untuk dimonetisasi pengembang adalah statistik pengunjung profile, premium room, donasi dan log peserta room. Btw kamu bisa cek postingan bang Ogut untuk insight lebih banyak.

PS.

Saya ingin menambahkan kegelisahan mengenai perseteruan netizen pengguna Android vs iPhone.

Saya agak kurang sreg ketika iPhone terlalu dilihat sebagai ‘hp mahal’, walau memang Apple ingin membangun image tersebut dan kesan eksklusif. Menurut saya lebih tepat iPhone dibilang hp future-proof. Saya menggunakan iPhone SE keluaran 2016 dan masih enak digunakan sampai sekarang (kecuali battery issue yang emang jadi masalah klasik iPhone). Itupun saya beli sekenan pada 2019. iPhone jadi future-proof karena didukung oleh iOS yang banyak menjangkau seri lama. Android? Sulit. Pixel series aja cuma 3 tahun dukungan. Nah mengenai mahal, hp Android sik larang yo akeh bos!

Selanjutnya mengenai pengembangan Clubhouse. Saya ngga tahu kenapa developer rilis di iOS dulu baru Android. Yah saya rasa ini wajar karena masih sedikit tim dan skalabilitasnya belum besar untuk menuju pengembangan di Android. Ingat, dulu WA dan IG juga awalnya di iOS kok. Jadi sabar, bertahap. Cek ombaknya di iOS dulu, karena pasarnya lebih sedikit. Hai kalian kasta Android, berbanggalah kalian mayoritas di muka bumi ini.

Walau yah beda lagi emang kalau bicara persaingan bisnis antar SNS. Kalau Clubhouse tidak segera meluncurkan versi Android, pasar mereka bisa direbut Twitter yang menyediakan layanan serupa –Space.

Btw kalau kamu mau coba Clubhouse versi mod Android juga ada, cuma risiko tanggung sendiri.

Pengalaman Ikut Room

Saya sudah mengikuti beberapa room di Clubhouse. Ada yang memberikan informasi insightful, ada juga yang isinya tidak jelas. Room dari publik figur tetap bisa membuat orang penasaran meski isinya kadang tidak mengenyangkan. Bahkan terkadang seperti mendengarkan orang ... ghibah. Karena bagaimanapun, seadainya dianalogikan, room di Clubhouse bisa diibaratkan sedang melakukan panggilan (baik personal atau grup), cuma orang di luar percakapan dapat menyimak bahkan berkomentar. Maka bahasannya tentu seperti percakapan kita dengan kawan; bisa sangat menarik dan berbobot, bisa juga cuma gurawan receh atau bahasan mengambang.

Kemudahan membuat room seperti di atas, tentu memudahkan mereka yang sudah ‘punya nama’ untuk mendapat lebih banyak pendengar. Walau sebenarnya kita yang biasa aja ini punya kesempatan juga jadi ‘semacam influecer’ di Clubhouse. Ada caranya.

Perasaan yang timbul saat ikut sebuah room sama persis ketika saya ikut seminar, atau webinar. Meski cuma audio, tapi tetep aja deg-degan kalau mau tanya. Haha. Pernah gitu out of knowhere saya tanya tentang sosial media berbasis blockchain di sebuah room bersama mas Ismail Fahmi dan Prof Joel Picard.

Saya juga pernah ikut room mas Ainun menyilakan mas Ismail Fahmi untuk menceritakan pengalaman menggunakan Clubhouse, dan bagaimana Drone Emprit Academic menangkap percakapan tentang Clubhouse. Saya jadi tahu bahwa Clubhouse sempat dijadikan medium pergerakan sosial di Thailand. Bahkan karena room ini saya juga jadi tahu idol kpop ada yang join Clubhouse xixixi.

Insight menarik yang saya dapat dari room tersebut adalah banyak nakes atau tepatnya dokter yang join Clubhouse untuk memerangi misinformasi isu-isu kesehatan. Membuat sebuah room di Clubhouse itu mudah dan siapa saja bisa bicara apa saja. Jadi para nakes-dokter perlu ikut bersuara dalam mengurangi misinformasi. Nah, ini semacam catatan penting. Semakin banyak ahli yang bergabung di Clubhouse, misinformasi atau disinformasi dalam room bisa lebih cepat ditangani karena banyak ahli yang bisa dirujuk langsung, bisa berkomentar langsung tentang suatu tema. Bahkan bagi pemerintah, menurut pak Sandiaga Uno dalam suatu room, Clubhouse bisa menjadi medium transparansi kebijakan pemerintah dan memungkinkan masyarakat memberikan aspirasi langsung. Hail daebak.

“Lalu, kira-kira bagaimana Clubhouse ke depannya?” tanya mas Firdza pada mas Fahmi di suatu room. “Bisa berkembang. Ada orang yang punya intensi ingin menyuarakan kritik. Lagipula, Clubhouse memfasilitasi mereka yang punya preferensi ‘ingin berbicara saja atau mendengarkan’. Clubhouse mengisi ruang kosong sosial media berbasis audio” jawab mas Fahmi, aw kama qala. Walaupun saya pribadi berpikir bahwa anak generasi baru sepertinya lebih tertarik konten/interaksi visual base, dan pada aplikasi video pendek seperti Tiktok.

Room yang Asik

Fun fact.

Tepuk tangan di Clubhouse dilakukan dengan menekan tombol suara berulang kali (mute-unmute, mute-unmute). Pertama kali tahu dari kak Gabriela. Katanya di room internasional begitulah keadaanya. Ngakak lama tidak kelar-kelar.

Tren Bergulir. Bagaimana Kita merespon?

Saya pribadi melihat Clubhouse punya potensi untuk berkembang. Cerita mereka membangun platform relatif mirip raksasa media sosial (atau tepatnya periklanan) hari ini, Facebook –mulai dari lingkaran terdekat, orang terbatas, dapat eksposur kemudian naik dan menyetabilkan pengaruh. Itupun kalau mereka ngga keduluan kalah pengaruh dengan Space-nya Twitter haha. Bagaimanapun, Clubhouse harus segera merilis versi Android. Karena tidak bisa dielakkan pangsa pasar smartphone tetap tetap dipegang pengguna Android. Clubhouse kemarin bisa hype karena menggunakan konsep scarcity seperti pada cryptocurrency; hanya bisa di iOS, hanya bisa join kalau diinvite. Tentu strategi ini tidak bisa terus bertahan atau diulang.

Bagi yang sudah tergabung di Clubhouse, saran saya satu: hati-hati. Hati-hati dalam berbicara. Karena kita tidak tahu apakah ternyata diam-diam ada yang merekam. Hat-hati dalam membicarakan orang/institusi. Karena kita tidak tahu di mana celah kebocoran informasi. Hati-hati dalam membicarakan sesuatu. Sitatlah hal yang perlu disitat, tidak perlu sok ngaku-ngaku insight yang bukan dari kamu. Jadilah bertanggung jawab dengan apapun yang kamu sampaikan.

Well, kalau begitu Clubhouse berbahaya? Ada potensi bahayanya seperti yang diulas mas Ario Pratomo. Tapi ada potensi cuannya juga. Kamu bisa cek konten mas Ogut. Oh ya, ada triknya juga kok buat kamu yang ingin punya eksposure di Clubhouse. Sering-sering ikut dan bikin room, sering-seringlah berinteraksi di sana. Kualitas saat berbicara dapat menarik orang untuk mengikuti kamu. Lengkapnya bisa dibaca di sini.

Haruskah LIS meramaikan?                                         

Baiklah. Akhirnya kita sampai pada penghujung tulisan dan maksud dasar dari tulisan ini dibuat. Sebagaimana terteta pada judul, haruskah?

Sebenarnya pertanyaan tersebut tidak bisa serta-merta dijawab diametral YA atau TIDAK. Tapi saya pribadi akan cenderung untuk mengadvokasi sembari juga menanyakan preferensi.

Apakah kamu termasuk orang yang lebih suka ngobrol atau mendengarkan? Apakah kamu suka mendengerkan podcast? Apakah kemasan konten audio lebih kamu suka dari teks, foto dan video? Kalau jawaban pertanyaan disebut dominan YA, kamu punya kecenderungan untuk menikmati Clubhouse.

Meski sebelumnya Clubhuouse naik gara-gara sentimen dan pemberitaan, saya rasa tidak masalah bila LIS dan pustakawan (jika memungkinkan) untuk join the trend. Bukan karena FOMO tapi lebih pada positioning bahwa pustakawan juga bisa keep up dalam dinamika media sosial.

Per tulisan ini dibuat, pustakawan (baik dari Indonesia atau luar negeri) yang join Clubhouse masih sedikit. Saya sempat mencari dengan kata kunci ‘perpustakaan’, ‘library’, ‘pustakawan’, ‘librarian’. Room berbau literasi dengan kata kunci ‘book’, ‘buku’, belum banyak. Asumsi saya memang tema literasi dan juga teman-teman LIS serta pustakawan belum banyak yang bermain di Clubhouse. Belum seramai topik atau tokoh bidang kesehatan, creative industry, financial, dll. Apakah juga ternyata teman-teman pustakawan dan pegiat literasi banyak yang ... pakai Android? No offense, please. Xixixi

Bagi saya, peluang naiknya citra pustakawan bisa digarap juga di platform ini. Seperti di singgung pada bagian sebelumnya, banyak ahli bidang tertentu yang join di Clubhouse. Harusnya pustakawan juga bisa hadir sebagai orang yang punya citra profesional pada bidang informasi, expertise-nya bisa kelihatan dengan banyak berinterakasi lewat room. Kita bisa menunjukkan dengan bangga "kita pustakawan" di profile dan bisa menunjukkan kualitas penguasaan kita dalam pengelolaan informasi, literatur, buku, penerbitan dll. Kita bisa mendapat ruang untuk menunjukkan kualitas public speaking. Seperti yang saya lakukan; membubuhkan profil sebagai mahasiswa LIS, ikut berinterasi dalam room dan ikut bersuara tentang informasi, buku, penerbitan dll.

Apa yang saya dapat dengan ikut Clubhouse dengan membawa identitas anak LIS? Banyak insight baru, banyak relasi.

Cheers!

Lokasi: Yogyakarta, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar