Sabtu, 09 Februari 2019

Disrupsi, Pustakawan Radikal, dan Donatur Buku

"Bagi pustakawan pasif yang masih merasa belum berperan seperti halnya pustakawan aktif, kenapa kita tidak menjadi pustakawan radikal yang dua-duanya, pasif dan aktif"
Dari beberapa permasalahan dunia kepustakawanan yang selalu menjadi bahan menarik diskusi di grup, termasuk di Grup Pustakawan Blogger misalnya menyoal keilmuan perpustakaan, kesejahteraan, birokrasi, kurang perhatian, harga diri profesi, kompetensi, anggaran, hingga pengaruh perkembangan teknologi informasi. Khusus yang terakhir hingga terjadi kegaduhan; adanya prediksi-prediksi yang memunculkan profesi pustakawan akan terkena disrupsi. Pastinya, teman-teman tahu buku yang berjudul Disruption karya Rhenald Kasali adalah salah satu yang membuat mata dan pikiran pustakawan semakin terbuka lebar. Berdampak positif memang, walau tak sedikit yang gundah gulana. Tapi, tentunya ada juga yang tetap bodo amat. Santai.

Disrupsi, Pustakawan Radikal, dan Donatur Buku
Credit: Pixabay
Nah, menyoal disrupsi, masih tertanam kuat dalam ingatan saya tentang pandangan Muhidin M. Dahlan terkait pustakawan dan disrupsi di suatu acara diskusi tahun lalu di Perpustakaan Pusat UGM. Menurutnya menyoal disrupsi, entah tepat atau tidak, lawan kata tersebut adalah radikal. Disrupsi, tercabut dari akarnya. Sementara radikal; secara mendasar. Bisa dikatakan kembali kepada khitahnya; cita-cita awal. Oleh karenanya, atas dasar itu, agar pustakawan tidak terkena disrupsi, maka ayo kembali ke cita-cita awal. Lantas, apa cita-cita awal seorang pustakawan itu? Monggo direnungkan masing-masing ya. Agar pustakawan kembali ke khitahnya, Muhidin melontarkan istilah yang cukup menarik, yakni pustakawan radikal.

Apa Itu Pustakawan Radikal?

Apa itu pustakawan radikal? Apakah pustakawan yang berada di garis keras? Pustakawan yang idealis? Atau pustakawan yang seperti teroris? Bukan! Bukan itu! Pustakawan radikal adalah pustakawan yang tahu secara mendalam tentang buku, paham perkembangan dunia aksara seiring sejarah hidup ini terus tecipta. Tahu sejarah buku dari masa ke masa yang tumbuh penuh dengan lika-liku persis seperti bangsa ini lahir. Menurut Muhidin pustakawan itu sebagai pengelola, pengorganisasi sekaligus fasilitator suara polifonik yang ada dalam buku. Nah, tugas pustakawan itu adalah melindungi dan memberi ruang yang cocok untuk suara polifonik tersebut ke dalam sebuah harmoni. Pengelola bukan sebatas fisik, tapi paham isinya. Agar lebih mudah di desiminasikan, maka bisa gunakan IT, tapi tidak mutlak. IT hanyalah alat. Tanpa IT juga tak mengapa, toh usianya juga lebih tua buku dibanding IT. Pendek kata, harus cinta kepada buku, sebenar-benarnya cinta yang bisa membuat si pecinta itu aktif.

Jenis Pustakawan Radikal

Muhidin membagi dua jenis dari pustakawan radikal yaitu pustakawan aktif dan pustakawan pasif. Apa makna dari keduanya?

Pustakawan aktif adalah mereka yang bergerak ke wilayah pelosok-pelosok, menyalurkan buku ke daerah yang belum tersentuh buku. Wujud kecintaan mereka terhadap buku adalah bagaimana caranya buku-buku itu sampai ke tangan mereka, para pemustaka yang sama sekali belum tersentuh, bahkan membaca isinya. Pustakawan aktif adalah pustakawan bergerak. Program pengiriman buku gratis adalah salah satu peran dari pustakawan aktif ini. Pustakawan aktif ini bekerja tanpa SK, tetapi mereka bergerak karena mempunyai semangat, idelisme yang tinggi, keyakinan dengan cita-cita masa depan bangsa bisa menjadi lebih baik dengan dunia pengetahuan seperti buku.

Sementara itu, pustakawan pasif adalah mereka pustakawan yang berada dibalik ruang, berdiskusi membicarakan ide-ide kepustakawanan. Dalam hal koleksi, pustakawan pasif, si kurator buku juga sering kali berdalih melalui seleksi ketat, buku-buku pilihan. Menurut Muhidin, apabila jenis pustakawan pasif ini berkumpul, maka akan menjadi provider informasi yang penting terkait buku misalnya seperti rekomendasi-rekomendasi untuk para pemustaka terkait isi buku tersebut. Pustakawan pasif yang menjadi provider informasi khusus buku adalah sejatinya seorang pemikir karena mereka melahirkan kembali tulisan-tulisan terkait buku yang bisa menjadi bahan diskusi, berdialektika. Saran dari si penulis buku berjudul Jalan Sunyi Seorang Penulis ini, jika anda tipe orang yang tak suka keramaian, lebih suka kesunyian, maka jadilah pustakawan pasif.

Dari keduanya mana yang lebih penting? Masih menurut Muhidin, bahwa dua-duanya penting. Semuanya sudah ada tugasnya masing-masing. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah dua-duanya cinta buku walau diekspresikan dengan cara yang berbeda. Buku yang menjadi paling utama. Yang perlu diwaspadai adalah untuk pustakawan pasif, hati-hati jangan terjebak pada kuantitas. Ingat kualitas, dalam arti sering kali banyaknya pengunjung menjadi tolak ukur si perpustakaan itu dianggap maju. Bukan itu, ketika perpustakaan itu sunyi, maka itu bisa menjadi pembuktian, seberapa tangguh pustakawan pasif itu bisa melahirkan ide-ide untuk membuat timbangan buku, paham terhadap perkembangan buku, melakukan penelitian terhadap buku, hadir dalam peristiwa besar terkait buku, dan sejenisnya terkait seluk-beluk dunia buku. "Jika perpustakaan itu sepi, kita bisa menjadi pustakawan sekaligus pemustakanya sendiri," kata Muhidin.

Ungkapan dari Muhidin itu, jelas sebuah bahan renungan untuk para pustakawan, sejauh mana paham tentang isi koleksi perpustakaan kita. Sejauh mana kita praktikan sekaligus contohkan aktivitas membaca sehari-hari, bukan hanya sekedar retorika bahwa membaca itu penting. Dari sini, semakin yakinlah saya kalau seorang pustakawan itu harus paham dunia aksara (Baca: Mampukah Saya Menjadi Double Agent?). Lagi pula, jika tak paham dengan isi koleksi perpustakaan sendiri, apa bedanya dengan penjaga buku?

Donatur Buku

Selanjutnya, kalau tidak salah di Grup Pustakawan Blogger ini, pernah juga ada yang berceloteh mengapa media lebih suka memberitakan para pustakawan aktif? Pada sisi lain, ada juga yang merasa perannya sebagai pustakawan pasif benar-benar belum ada apa-apanya dengan pustakawan aktif. "Semua sudah ada perannya masing-masing," komentar dari salah seorang anggota grup.

Ok, bagi pustakawan pasif yang masih merasa belum berperan seperti halnya pustakawan aktif, kenapa kita tidak menjadi pustakawan radikal yang dua-duanya, pasif dan aktif. Apa itu bisa? Bisa kok. Hal kecil yang bisa dilakukan, coba saja di lingkungan sekitarmu misalnya para tetangga potensial yang suka buku, tapi tak mau membeli, maka tawarkanlah untuk meminjam koleksi perpustakaan pribadimu di rumah. Punya perpustakaan pribadikan? Kalau ditolak, ya jangan lantas mutung, lah wong namanya juga menawarkan kebaikan. Pastinya banyak cobaanya. Santai saja, sembari tetap semangat seperti para pustakawan aktif. Ingat mereka bergerak bukan karena SK seperti halnya pustakawan pasif, melainkan karena semangat dan idealisme yang menyangkut kepuasan batin. Sebagai saran, agar tak mutung, cobalah belajar dari para individu yang bekerja di dunia MLM. Ditolak, tapi tetap senyum sembari mendengarkan celoteh calon anggota yang menolak halus. Bisa juga belajar dari para Jemaah Tabligh yang melakukan khuruj, mereka tak pernah putus asa meskipun ditolak ketika mendatangi rumah ke rumah warga untuk mengajak salat berjamaah di masjid sekitar.

Oh iya, kalau masih belum puas juga, barangkali kita bisa mengambil peran sebagai kepanjangan tangan pustakawan aktif. Jadilah DONATUR BUKU. Kirimlah ke mereka, para pustakawan aktif. Ingat setiap tanggal 17 setiap bulannya.

Kalau belum mampu keduanya, ya wis. Share informasi saja ke media sosialmu terkait buku gratis. Barangkali saja ada teman-temanmu yang berkenan jadi donatur buku. Mungkin itu peran yang sederhana, tapi setidaknya tetap masih ikut andil dalam membantu para pustakawan aktif di lapangan. Yah, jadi pustakawan bermanfaatlah, begitu kata Bos Maman Kendal. Kalau share informasi belum mampu juga, ya wis dedonga wae. Mugi-mugi mereka diberikan kekuatan dan kemudahan. Amin.

Salam,
#pustakawanbloggerindonesia

0 komentar:

Posting Komentar