Jumat, 01 Februari 2019

Ideologi Pustakawan

Oleh Irsan

Membicarakan ideologi dalam konteks kepustakawanan, perlu diawali dari persepsi pustakawan terhadap ideologi. Persepsi ini tidak mudah untuk ditetapkan, sebab istilah ideologi memiliki pengertian yang beragam. Jika pengertiannya saja kompleks, maka ideologi akan menimbulkan persepsi dan respon yang berbeda-beda. Namun diantara beragam pengertian itu, tentulah ada interpretasi yang digunakan sebagai pegangan.

Ideologi yang saya pahami (sejauh ini) ialah suatu konsep atau nilai yang fundamen atau prinsip yang melandasi kehidupan dan ikhtiar. Defenisi ini mencuat tak lain berangkat dari proses membaca dan diskusi yang meninggalkan jejak pemahaman individual.

Tentu jika ingin menarik dalam satu defenisi referensial yang pakem, maka akan mudah mengambilnya dalam KBBI. Namun berbicara ideologi, sepertinya akan menarik bila melibatkan pengetahuan subjektif (dari serapan literer) sebagai alat ulasan dan analisis.

Jadi berbicara tentang ideologi pustakawan ialah upaya untuk melihat apa yang menjadi prinsip atau nilai yang fundamen dalam melakoni kepustakawanan. Di satu sisi, orang mungkin melihat kepustakawanan itu sendiri merupakan titik anjak pustakawan. Yang juga dapat diartikan bahwa kepustakawanan adalah ideologi itu sendiri bagi pustakawan.

Namun yang perlu dibedakan, ideologi di sini merupakan prinsip pustakawan yang akan mewarnai kegiatan kepustakawanan dengan kekhasan nilainya. Artinya, pada gilirannya akan menampilkan identitas pustakawan yang berkarakter khas.


Ideologi pustakawan mungkin bisa bermuka ganda, bahkan biner antara positif maupun negatif, tergantung bagaimana motifnya. Misalnya, jika ideologi yang dianut itu memiliki motif oposan (politik) yang praktis, wajahnya pun terlihat politis. Anggaplah bahwa ideologi seorang pustakawan mendorongnya berpihak pada golongan tertentu, sementara dalam perspektifnya yang lain sebagai profesional mengharuskan adanya keadilan dalam layanan informasi. Atau jika ideologinya berbasis kepercayaan khilafah, buku-buku yang diadakan cenderung berbasis propaganda khilafah, sementara ia tahu betapa riskannya itu. Demikian halnya mungkin dengan pustakawan yang punya background yang kuat pada ideologi radikal, pancasilais, fundamentalis, hedonis bahkan kekiri-kirian.

Setiap obor ideologi yang berbeda tidak sepenuhnya dianggap cocok dengan suatu struktur dan kultur, maka disitulah benturan prinsip yang menanti dan memantik dialog terjadi.

Ada pemikir yang justru menganggap ideologi hanyalah bayang-bayang bahkan dianggap merintangi jalan berhimpun tanpa kelas. Bahkan dibilang negatif, bilamana ideologi akhirnya mengunkung dalam kesadaran palsu. Walaupun sebenarnya ideologi kerap dipandang punya semangat yang ingin menampilkan harapan yang cerah.

Akar-akar ideologi memang kompleks. Sekompleks diri manusia dan soal-soal kepustakawanan. Pustakawan yang belum selesai dengan dirinya, akan terus mencari sembari memegang suatu prinsip untuk sementara waktu. Biasanya, orang yang tak ingin takluk dengan zona nyaman, punya upaya kritis untuk mempertanyakan sekelilingnya, bahkan dirinya sendiri. Ia senantiasa berdiskursus untuk menyerap tesis baru yang diraba layak dipijaki sebagai ideologi pustakawan.

Penulis adalah penata pustaka di PUKE, pengelola kulimaspul.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar